NAMA : Zainal Hasan
NIM :160321100039
KELAS : A
KASUS 1.
NIM :160321100039
KELAS : A
KASUS 1.
Adanya persengketaan merek dagang antara
PT Sinde Budi Sentosa (logo cap badak) dengan Wen Ken Drug Co (Pte)Ltd (logo
cap kaki tiga). Dimana PT Sinde menerima lisensi
untuk menggunakan merek dagang Wen Ken Drug Co (Pte)Ltd di Singapura. Kesamaan
kemasan antara dua merek ini menimbulkan persengketaan bisnis, sehingga
kemudian di perlukan suatu penyelesaian hukum. Analisalah Kasus ini berdasarkan
“Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dalam Bisnis” !
ANALISA
Berdsarkan pasal 1 UU Nomor 15 tahun 2001
menyatakan bahwa merek adalah tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang
memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan atau jasa. merek
memilik fungsi sebagai tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi seseorang
serta sebagai alat promosi. PT Sinde Budi Sentosa menerima lisensi untuk
menggunakan merek dagang Wen Ken Drug Co (Pte) Ltd di Singapura. Perjanjian bersumber
dari kedua belah pihak sejak
1978
hingga saat ini terjadi perikatan diam-diam antara kedua perusahaan. namun
faktanya Wen Ken memberikan lisensi atas merek Cap Kaki Tiga pada PT.Sinde Budi Sentosa untuk memproduksi
dan memasarkan produk Cap Kaki Tiga di indonesia. PT. Sinde Budi Sentosa tidak dapat
mendaftarkan hak merek terhadap produk yang
dimiliki karena memiliki kemiripan kemasan dengan larutan cap kaki tiga. Persamaan
diantaranya yaitu bentuk
botol, tutup botol warna biru, warna
kemasan, tulisan arab, Font, penempatan khasiat produk, penempatan tulisan komposisi, penempatan
varian rasa serta penempatan
logo dan tulisan “larutan penyegar” yang berada di tengah.
Dalam hal ini, unsur merek yang diusung oleh PT. Sinde Budi
Sentosa secara tidak langsung memiliki unsur yang sama dengan produk larutan Cap
Kaki Tiga. Namun
permohonan kepada Dirjen HAKI oleh PT. Sinde Budi Sentosa untuk merek dagang Cap
Badak berhasil
lolos pada tahun 2004 dengan merek larutan penyegar cap badak untuk
kelas 32 (minuman penyegar) dan 05 (minuman kesehatan). Hal ini disebabkan pada tahun 2004 Wen Ken
Drug Co (Pte) Ltd belum mendaftarkan merek cap kaki tiga ke Dirjen HAKI,
sehingga larutan penyegar cap kaki tiga belum tercatat secara hukum dalam
Dirjen HAKI Indonesia. Wen Ken Drug Co (Pte) Ltd baru mendaftarkan merek Cap
Kaki Tiga ke Dirjen HAKI pada
tahun 2008. Pada tahun 2018 Akhirnya Wen Ken Drug Co (Pte) Ltd di singapura memutuskan perjanjian dengan PT. Sinde Budi Sentosa secara sepihak dan
memindahkan lisensi penggunaan merek dagang Cap Kaki Tiga ke PT. Kinocare Era
Kosmetindo.
KASUS 3.
Adanya keterlambatan keberangkatan selama 90 menit dari
maskapai Wings Air, menyebabkan seorang konsumen (David ML. Tobing) mengalami
kerugian. Pihak maskapai tidak memberikan informasi yang memadai akibat
keterlambatan tersebut, sehingga David mengajukan gugatan terhadap kasus ini
kepada pengadilan untuk memperoleh kerugian dan meminta pengadilan untuk
membatalkan klasul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas
keterlambatan ini (hal yang dilarang oleh undang-undang no 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen). Analisilah kasus ini berdasarkan Hukum Perlindungan
Konsumen!
ANALISA
Untuk
menganalisa kasus tersebut lebih jauh sebagai suatu tindak pidana ekonomi maka
harus dikaji terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan hukum pidana
ekonomi dan hukum perlindungan konsumen.
Hukum
Pidana Ekonomi, terdiri dari 2 jenis tindak pidana ekonomi yaitu tindak pidana
ekonomi dalam arti sempit dan tindak pidana ekonomi dalam arti luas. Yang
dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti sempit adalah tindak pidana
ekonomi yang secara tegas melanggar Undang-Undang 7/DRT/1955. Sedangkan yang
dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah tindak pidana yang
bertentangan dengan Undang-Undang 7/DRT/1955 serta undang-undang lain yang
mengatur tentang tindak pidana ekonomi.
Dalam kasus yang menimpa David ML. Tobing, tindakan
yang dilakukan oleh pihak manajemen Wings Air dengan mencantumkan klausula baku
pada tiket penerbangan secara tegas merupakan tindakan yang bertentangan dengan
hukum perlindungan konsumen, sehingga terhadapnya dapat diklafikasikan sebagai
tindak pidana dalam arti luas.
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1999 disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen dalam
perdagangan adalah tingkat kesadaran konsumen masih sangat rendah, yang
disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Mengacu pada hal tersebut, UUPK
diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan
konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Sehingga yang diharapkan
segala kepentingan konsumen secara integrative dan komprehensif dapat
dilindungi.
Perlindungan konsumen sebagaimana pasal 1 ayat (1)
menyebutkan arti dari perlindungan konsumen yakni : segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen.
Asas-Asas Perlindungan Konsumen dapat dibagi menjadi
menjadi 5 asas utama yakni :
1.
Asas Manfaat: Mengamanatkan bahwa
segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan
2.
Asas Keadilan: Partisipasi seluruh
rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya
secara adil
3.
Asas Keseimbangan: Memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti materil ataupun spiritual
4.
Asas Keamanan dan
Keselamatan Konsumen: Memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau
jasa yang dikonsumsi atau digunakan
5.
Asas Kepastian Hukum:
Pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum
dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta
negara menjamin kepastian hukum.
Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang bahwa Perlindungan
konsumen bertujuan untuk Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri, Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam
memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha, Meningkatkan
kualitas barang atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang atau
jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Ketentuan mengenai sanksi pidana dari Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yang diatur dalam 3 pasal yakni Pasal 61, 62 dan 63.
Hukum pidana berlaku secara Ultimuum Remedium mengingat penyelesaian sengketa
konsumen dalam UUPK juga mengenal adanya penyelesaian melalui alternative
penyelesaian sengketa, Hukum Administrasi dan Hukum Perdata.
Tindakan Wings Air mencantumkan Klausula baku pada
tiket penerbangan yang dijualnya, dalam hal ini menimpa DAVID, secara tegas
bertentangan dengan Pasal 62 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia
tentang Perlindungan Konsumen dimana terhadapnya dapat dipidana penjara paling
lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,-,namun dengan
tidak mengesampingkan prinsip Ultimum Remedium. Yang dimaksud dengan Klausula
baku adalah segala klausula yang dibuat secara sepihak dan berisi tentang
pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak yang lain.
Kasus tersebut merupakan suatu
bentuk klausula baku mengingat klausul yang termuat dalam tiket tersebut dibuat
secara sepihak oleh pihak Manajemen Wings Air yang berisikan pengalihan
tanggungjawab dalam hal terjadi kerugian dari pihak manajemen kepada penumpang.
Atas dimuatnya klausula tersebut jelas dapat merugikan kepentingan konsumen.
Penyedia jasa dapat serta merta melepaskan tanggungjawabnya atas kerugian yang
timbul baik yang ditimbulkan oleh penyedia jasa sendiri maupun konsumen.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Wings Air selaku
peusahaan milik Lion Air bertentangan dengan pasal 18 UUPK dan Konvensi Warsawa
tentang penerbangan.
Pasal 4, hak konsumen adalah :
a. Ayat 1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”.
b. Disini pelaku usaha bidang pangan melanggar
hak konsumen tersebut. Ini terbukti Berdasarkan penyebab terjadi KLB (per-23
Agustus 2006) 37 kasus tidak jelas asalnya, 1 kasus disebabkan mikroba dan 8
kasus tidak ada sample.Pada tahun 2005 KLB yang tidak jelas asalnya (berasal
dari umum) sebanyak 95 kasus, tidak ada sample 45 kasus dan akibat mikroba 30
kasus.Hasil kajian dan analisa BPKN juga masih menemukan adanya penggunaan
bahan terlarang dalam produk makanan Ditemukan penggunaan bahan-bahan terlarang
seperti bahan pengawet, pewarna, pemanis dan lainnya yang bukan untuk pangan
(seperti rhodamin B dan methanil yellow).
c. Ayat 3 : “hak atas informasi yang benar,
jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”.
d. Para pelaku usaha bidang pangan terutama pada
makanan cepat saji seperti bakso, mie ayam dan lainnya para pelaku usaha tidak
jarang mencantumkan komposisi makanannya bahkan mencampur adukan boraks pada
sajiannya, hal ini mempersulit konsumen dalam mengetahui informasi komposisi
bahan makanannya
KASUS 4.
Adanya kasus dugaan kartel persekongkolan harga antara PT Yamaha
Indonesia Motor Manufacturing (YMMI) dan PT Astra Honda Motor (AHM) oleh pihak
KPPU (Komisi Persaingan Usaha Tidak Sehat) berupa penyesuain harga jual sepeda
motor jenis skuter matik di Indonesia dalam kurun waktur 2013-2015. Hal ini
dilakukan karena skuter matik menjadi komoditas yang paling banyak diminati
oleh konsumen. Dimana pangsa pasar untuk skuter AHM lebih dari 67 persen dan
Yamaha lebih dari 29 persen. Analisalah kasus ini berdasarkan larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat !
ANALISA
Menurut Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat definisi Monopoli
adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Pasal 25 Ayat (2) menyatakan bahwa setiap satu pelaku
usaha memiliki posisi dominan apabila menguasai 50% atau lebih pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu. Jika ada dua atau tiga pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha, posisi dominannya ditentukan dari penguasaan pangsa
pasar sebesar 75% atau lebih. Posisi demikian berpotensi mengakibatkan pelaku
usaha tidak lagi mempunyai pesaing yang berarti dalam pasar yang bersangkutan. Hasil persentase Pangsa Pasar kedua perusahaan
tersebut dimana Pangsa pasar untuk skuter AHM lebih dari 67% dan Yamaha lebih
dari 29% artinya jumlah presentase pangsa pasar keduanya adalah lebih dari 75%
(akumulasi 96%) Berdasarkan ayat (1) pelaku usaha patut diduga atau dianggap dianggap melakukan penguasaan
atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa apabila Satu pelaku usaha
atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen)
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu (point
c). Persentase
Pangsa Pasar kedua perusahaan tersebut dimana Pangsa pasar untuk skuter AHM
lebih dari 67% dan Yamaha lebih dari 29% artinya jumlah presentase pangsa pasar
keduanya adalah lebih dari 75% (akumulasi 96%).Perjanjian penerapan harga
(price fixing) diatur dalam pasal 5 ayat 1 dan 2 undang-undang antimonopoly
bahwa Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
unuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggaran pada pasar bersangkutan yang sama.Perjanjian
penetapan harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggan. Penetapan harga ini dapat dilakukan sesama pelaku
usaha yang menghasilkan produk barang dan/atau jasa yang sama dengan menetapkan
harga yang harus dibayar oleh konsumen, dalam hal ini penyesuaian harga yang
dimaksud adalah harga sepeda motor matic. Diantara kedua perusahaan ini diduga
melakukan kartel untuk penyesuaian harga. Dalam pasal 11 UU No 5 tahun 1999 tentang larangan
praktek monopoli dan persaingan tidak sehat sudah diatur perihal Kartel yang
berbunyi “Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga
dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat”. Dalam hal ini KPPU yang mempunyai wewenang
untuk melakukan pengawasan terhadap pelaku usaha yang melakukan perjanjian yang
dilarang, kegiatan/perbuatan yang dilarang dan posisi dominan, atas dasar yang
sudah disebutkan diatas KPPU berhak menduga bahwasanya PT Yamaha Indonesia Motor
Manufacturing (YMMI) dan PT Astra Honda Motor (AHM) melakukan praktek monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar